Harga energi di Uni Eropa (UE) mengalami kenaikan tajam akibat terhentinya pasokan gas dan minyak murah dari Rusia. Krisis ini telah diakui oleh Kepala Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, yang mengungkapkan kekhawatirannya dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Sebelum tahun 2022, Uni Eropa mendapatkan 45% gas dan 50% batu bara dari Rusia, menjadikannya salah satu pemasok energi utama bagi kawasan tersebut. Von der Leyen menjelaskan bahwa ketergantungan ini tampak menguntungkan secara ekonomi, namun membuat UE rentan terhadap manipulasi pasar energi oleh pihak eksternal.
"Sebelum perang Rusia-Ukraina, energi dari Rusia tampak murah, tetapi ternyata membuat kami terpapar pemerasan," ungkap Von der Leyen. Setelah konflik Ukraina meletus pada Februari 2022, Presiden Rusia, Vladimir Putin, memutuskan untuk memotong pasokan gas ke Eropa. Von der Leyen menambahkan bahwa impor gas dari Rusia kini telah berkurang sebesar 75%, dengan hanya sekitar 3% dari minyak yang saat ini masih diimpor dari Rusia, dan sama sekali tidak ada batu bara lagi.
Von der Leyen memperingatkan bahwa hilangnya pasokan dari Rusia telah memperburuk krisis energi di Eropa. "Kebebasan datang dengan harga. Rumah tangga dan bisnis melihat biaya energi yang sangat tinggi, dan tagihan bagi banyak orang belum juga turun," katanya. Uni Eropa telah memberlakukan sanksi terhadap Rusia yang menargetkan berbagai sektor industri, termasuk energi dan keuangan, sebagai respon terhadap tindakan Rusia di Ukraina.
Pada tahun 2022, Rusia menghentikan aliran gas ke Jerman melalui pipa Nord Stream 1, dengan dalih pemeliharaan rutin yang tertunda karena sanksi membuat sulit mendapatkan peralatan buatan Barat. Kemudian, pada September 2022, pipa kembar Nord Stream yang membentang melalui Laut Baltik, mengalami sabotase. Moskow menuduh Amerika Serikat dan Inggris berada di belakang insiden tersebut, meskipun kedua negara menolak tuduhan tersebut.
Di tengah ketidakpastian ini, Von der Leyen menyatakan bahwa Uni Eropa dapat mengatasi krisis energi dengan beralih ke energi terbarukan dan nuklir. "Kami harus berinvestasi dalam teknologi energi bersih generasi berikutnya, seperti fusi, panas bumi yang ditingkatkan, dan baterai solid-state," tegas Kepala Komisi Eropa.
Namun, situasi ini juga menimbulkan perdebatan di antara negara-negara anggota Uni Eropa. Beberapa negara seperti Hongaria dan Slovakia menyerukan agar Brussels meninjau kembali kebijakan sanksi dan mencari solusi diplomatik untuk konflik di Ukraina. Perdana Menteri Slovakia, Robert Fico, memperingatkan akan menangguhkan bantuan kemanusiaan dan memotong pasokan listrik ke Ukraina kecuali kiev melanjutkan transit gas.
Kondisi ini diperparah ketika Ukraina memutuskan untuk menghentikan transit gas Rusia ke Eropa melalui pipa era Soviet, efektif mulai 1 Januari 2025. Keputusan ini diambil setelah Kiev memutuskan tidak memperbarui kesepakatan dengan operator gas milik negara Rusia, Gazprom. Langkah ini menambah lapisan kompleksitas dalam dinamika energi dan geopolitik di kawasan.
Perubahan dalam pasokan energi ini memicu dorongan untuk mempercepat transisi energi dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Uni Eropa berkomitmen untuk berinvestasi dalam proyek energi hijau dan inovatif, sementara secara bersamaan mencari cara untuk menstabilkan harga energi dan meringankan beban ekonomi masyarakatnya.
Krisis energi di Uni Eropa ini juga menjadi pengingat bahwa diversifikasi sumber energi merupakan langkah penting untuk memastikan keamanan energi jangka panjang. Dengan mengembangkan dan memanfaatkan sumber energi yang lebih berkelanjutan dan aman, UE berusaha tidak hanya menanggulangi krisis saat ini, tetapi juga memperkuat posisi strategisnya dalam konteks geopolitik global yang dinamis.
Dengan situasi yang terus berkembang, waktu akan menentukan bagaimana Uni Eropa menavigasi krisis energi ini, serta bagaimana dampaknya terhadap ekonomi dan masyarakat di kawasan. Hingga saat ini, tantangan besar masih ada, tetapi begitu pula peluang untuk inovasi dan kemajuan dalam sektor energi.