Pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak sepanjang 26,95 kilometer yang dipuji sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) menimbulkan polemik disebabkan oleh dampaknya terhadap ekosistem hutan mangrove di pesisir pantai utara Jawa. Sebanyak 46 hektar hutan mangrove harus dibabat demi kelancaran megaproyek ini, yang juga dirancang berfungsi sebagai tanggul laut untuk mengatasi banjir rob.
Widi Hartanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Tengah, menyatakan bahwa konsekuensi lingkungan seperti ini telah diketahui sejak tahap analisis dampak lingkungan (amdal). "Saat proses amdal sudah diketahui bakal menghilangkan sekitar 40-an hektar hutan mangrove di pesisir laut utara Jawa. Jadi, ini sudah terencana dan ada kesepakatan bersama para pihak," jelasnya. Dia menambahkan bahwa pengelola proyek telah diwajibkan untuk menanam kembali mangrove di lokasi lain sebagai bentuk kompensasi.
Sejalan dengan pernyataan dari DLH, Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup, juga menyatakan komitmennya untuk mengkompensasi hutan mangrove yang terbabat. "Kita harus mengkompensasi karena simpanan karbon pada mangrove cukup tinggi. DLH akan turun, kita akan cek kembali yang tol laut," ujarnya ketika mengunjungi Demak dan Semarang.
Namun, isu yang ditimbulkan dari proyek ini tidak hanya berfokus pada kerugian ekologis. Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), menyuarakan kekhawatiran mengenai kerusakan ekosistem yang sudah parah di pesisir utara. "Ini menggambarkan bagaimana mekanisme negara ini dalam melihat permasalahan krisis iklim. Krisis iklim di Indonesia cenderung seperti tambal sulam," kata Susan. Dia menyayangkan solusi banjir rob dengan pembangunan infrastruktur jalan tol dianggap sebagai solusi palsu dan potensi merugikan masyarakat pesisir.
Dalam konteks lebih makro, permasalahan mangrove ini menguak kenyataan menantang soal konservasi lingkungan di Indonesia. Berdasarkan penelitian Fani Safitri dari IPB yang dipublikasikan di Jurnal Kelautan Tropis, kerapatan mangrove di pesisir Semarang mengalami penurunan signifikan dari 412.889 hektar pada 2013 menjadi 142.562 hektar pada 2022. Salah satu faktor penurunan ini adalah pembangunan tol yang mencederai usaha konservasi sebelumnya.
Menurut Dadan Mulyana, pakar mangrove IPB University, rehabilitasi ekosistem mangrove di pesisir utara Jawa bukan perkara mudah. "Kondisi pesisir utara pulau Jawa susah tanam mangrove karena berbagai faktor penyebab," katanya. Mangrove bertumbuh di lingkungan yang rentan dan sensitif. Ia mengingatkan bahwa upaya rehabilitasi harus memperhitungkan aspek teknis seperti stabilitas substrat tanah, pasokan air, dan ketersediaan unsur hara.
"Kebanyakan tidak subur. Bisa berfungsi baik ketika akar tunjang yang keluar lebih dari lima itu sudah bisa survive dalam tiga hingga lima tahun, tergantung kesuburan," kata Dadan. Dia menekankan pentingnya perawatan berkala setelah penanaman mangrove untuk memastikan pertumbuhan maksimal selama tiga tahun pertama.
Proyek Tol Semarang-Demak ini seharusnya menjadi panggilan bagi pemerintah untuk mempertimbangkan pengembangan berbasis alam (green development) demi keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian ekosistem. "Mangrove itu adalah ekosistem yang rapuh, lunak. Sangat sulit ketika rusak untuk dipulihkan, hingga paling aman ialah menjaga kelestariannya," tegas Dadan.
Selain dampak ekologi, proyek ini menimbulkan spekulasi mengenai potensi korupsi, mengingat anggaran dan skala mega proyek. Susan Herawati menambahkan tekanan dengan menyerukan pengawasan dari pihak berwenang seperti KPK untuk memantau jalannya proyek ini.
Dengan demikian, meskipun proyek ini menjanjikan solusi bagi masalah banjir rob, perlu ada pertimbangan lebih mendalam mengenai dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat lokal, serta jaminan bahwa komitmen penanaman kembali mangrove dilaksanakan secara nyata dan berkelanjutan. Penyelesaian harus melihat lebih jauh dari sekedar pembangunan fisik, tetapi juga kelestarian dan kesejahteraan ekosistem dan masyarakat pesisir utara.