Ribuan Rumah di Kawasan Separatis Moldova Kehilangan Akses Gas di Tengah Krisis Energi

Selasa, 07 Januari 2025 | 10:08:03 WIB
Ribuan Rumah di Kawasan Separatis Moldova Kehilangan Akses Gas di Tengah Krisis Energi

Lebih dari 51 ribu rumah dan 1.500 gedung apartemen di kawasan separatis pro-Rusia di Moldova kehilangan akses pasokan gas di tengah musim dingin yang menggigit. Situasi yang memperparah krisis energi ini dilaporkan setelah Ukraina menolak memperpanjang perjanjian transit gas dengan Rusia pekan lalu. Keputusan tersebut menciptakan dampak besar terhadap pasokan energi di wilayah Transdniestria yang sebagian besar berbahasa Rusia.

Transdniestria, sebuah wilayah yang telah lama menjadi pusat tensi geopolitik, menerima pasokan gas dari Rusia melalui jalur Ukraina selama beberapa dekade. Gas tersebut menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayah ini, yang juga menyediakan hingga 80 persen listrik untuk masyarakat di seluruh Moldova. Namun, aliran gas tersebut terhenti tepat pada awal tahun baru, menimbulkan keresahan di tengah cuaca yang semakin dingin.

Krisis ini dipicu oleh keputusan Ukraina yang enggan memperpanjang perjanjian transit gas, sebuah tindakan yang mencerminkan perseteruan politik yang tengah berlangsung di kawasan itu. "Tidak ada seorang pun di Transdniestria yang bersalah atas situasi ini - semuanya adalah faktor eksternal," ungkap Vadim Krasnoselsky, Presiden untuk pemerintahan wilayah Transdniestria, dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di televisi.

Krisis ini memicu gangguan besar, mencakup terhentinya operasi di lebih dari 122 pemukiman yang tidak lagi menerima pasokan gas. Kenyataan pahit ini makin diperparah dengan dampaknya pada sektor pendidikan, di mana setidaknya 131 sekolah dan 147 taman kanak-kanak yang tidak dapat memulai kembali setelah liburan musim dingin akibat tidak dapat menyalakan sistem penghangat ruangan. Otoritas setempat bahkan memerintahkan agar sekolah ditutup hingga situasi membaik.

Sementara itu, pemerintah Moldova dengan tegas menyebut penyebab krisis ini dari pihak Rusia, khususnya perusahaan raksasa Gazprom yang tidak memasok gas seperti yang telah dikontrakkan. Gazprom, di sisi lain, menangguhkan ekspor gas dengan alasan utang Moldova yang diklaim mencapai total S$709 juta. Sebagai balasan, Moldova membantah klaim tersebut dan menegaskan utang yang dikatakan Moskow tersebut hanya sebesar S$8,6 juta.

Moldova, yang dikenal dengan pemerintahannya yang pro-Barat dan aspirasi untuk menjadi anggota Uni Eropa serta NATO, menuduh bahwa tindakan Rusia ini bagian dari upaya untuk melemahkan kedaulatan dan kemerdekaannya, termasuk melalui manipulasi kelompok separatis di Transdniestria. Tuduhan ini dibantah oleh pihak Rusia.

Sementara Moldova berusaha memenuhi kebutuhan energi dengan mengimpor sekitar 60 persen dari Rumania, tawaran bantuan kepada kawasan Transdniestria justru ditolak. "Tidak ada tawaran bantuan dari Moldova atau negara lain," tandas Krasnoselsky, yang menekankan bahwa tujuan Moldova adalah untuk "mencekik" kawasan tersebut.

Sebagai solusi sementara bagi penduduk lokal, Krasnoselsky menghimbau warga untuk mulai menggunakan kayu bakar dalam aktivitas domestik mereka. Langkah ini jelas bukan solusi jangka panjang, tetapi merupakan langkah darurat untuk mengatasi musim dingin yang mematikan di tengah krisis energi yang semakin dalam.

Krisis ini mengingatkan kita semua akan kompleksitas geopolitik dan bagaimana pergolakan politik dapat menjelma menjadi krisis kemanusiaan yang nyata. Dalam situasi serba tidak pasti ini, kebutuhan akan dialog dan penyelesaian damai semakin mendesak, karena hanya melalui komunikasi dan kompromi kebuntuan ini dapat terpecahkan.

Dengan perundingan terkait rute alternatif yang masih buntu, tekanan internasional mungkin diperlukan untuk memastikan aliran energi yang konsisten ke seluruh Moldova dan untuk mencegah lebih banyak penderitaan bagi masyarakat di wilayah Transdniestria. Sampai solusi jangka panjang tercapai, ribuan keluarga di kawasan tersebut harus berjuang dengan ketidakpastian tentang kapan pasokan energi mereka akan pulih.

Ini menjadi pengingat bahwa di balik konflik politik dan keputusan kebijakan, ada nyawa manusia yang terpengaruh, dan setiap keputusan harus mempertimbangkan kesejahteraan mereka di atas segalanya.

Terkini