Tradisi Belis: Simbol Budaya yang Menyimpan Beban Finansial di Era Modern

Senin, 20 Januari 2025 | 16:21:19 WIB
Tradisi Belis: Simbol Budaya yang Menyimpan Beban Finansial di Era Modern

Jakarta - Belis, atau yang lebih dikenal sebagai mas kawin, adalah tradisi bersejarah yang telah lama menjadi bagian dari pernikahan di banyak budaya di Indonesia, khususnya di wilayah timur seperti Nusa Tenggara Timur. 

Tradisi ini memegang nilai-nilai luhur sebagai penghormatan terhadap wanita dan keluarganya, serta bertindak sebagai jembatan penyatuan dua keluarga besar dalam kesakralan pernikahan. Namun, di balik penghormatan tersebut, ada sisi lain dari belis yang kerap kali menimbulkan beban finansial yang besar bagi pihak laki-laki, dan dalam beberapa kasus, dapat mengancam kesejahteraan psikologis serta hubungan kekeluargaan, Senin, 20 Januari 2025.

Makna Budaya dan Simbolik Belis

Di dalam tatanan budaya, belis memiliki makna yang mendalam. Ia dianggap sebagai bentuk pengakuan atas peran penting seorang perempuan di dalam keluarga. “Dengan adanya belis, kita dapat melihat seberapa serius seorang pria dalam menjalin hubungan dan komitmennya untuk membangun keluarga,” ujar Rina Kurniawati, seorang antropolog dari Universitas Nusa Cendana. Proses penyerahan belis tidak hanya dimaknai sebagai pertukaran benda materi, tetapi juga sebagai simbol penyatuan dua komunitas besar, yakni keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.

Berbagai daerah memiliki beragam tata cara dalam pelaksanaan belis, menunjukkan keanekaragaman budaya Indonesia. Pada masyarakat Lamaholot, misalnya, belis diwujudkan dalam bentuk gading gajah atau bala, yang besarnya disesuaikan dengan status sosial seorang perempuan. Selain itu, pelengkap belis seperti sarung tenun sutra dan ternak juga menjadi bagian dari tradisi ini. Uniknya, meskipun pihak laki-laki yang menyerahkan belis, pihak keluarga perempuan juga memberikan balasan simbolis kepada pihak laki-laki dalam bentuk barang berharga lainnya. “Tradisi ini mengajarkan keseimbangan dan saling menghargai di antara kedua belah pihak,” tambah Rina.

Tantangan Finansial dan Dampak Sosial

Meskipun belis mengandung nilai-nilai budaya yang positif, tantangannya saat ini adalah bagaimana menjaga agar tradisi tersebut tidak menjadi beban finansial yang berat. Tuntutan belis yang tinggi sering kali menjadi sumber tekanan, terutama bagi keluarga laki-laki. Dalam beberapa kasus, seperti yang terjadi baru-baru ini di Kupang, ini bahkan dapat memicu tindakan tragis seperti mengakhiri hidup.

Selain menjadi tantangan finansial, besarnya tuntutan materi untuk belis juga sering kali menimbulkan ketegangan dan konflik di antara pasangan dan keluarganya. Ketika keluarga perempuan menetapkan nominal belis yang tinggi, tidak jarang hal ini membangkitkan sentimen negatif dari pihak laki-laki yang merasa tertekan dan kehilangan martabat jika tidak mampu memenuhinya. Konflik semacam ini bisa merusak hubungan dua keluarga yang harusnya harmonis.

“Penundaan pernikahan adalah salah satu dampak nyata dari tuntutan belis yang tinggi. Banyak pasangan terpaksa menunggu karena belum mampu memenuhi tuntutan tersebut,” ungkap Dian Suryani, seorang konselor pernikahan di Kupang. Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa tekanan ekonomi dan sosial sering berimbas pada kesehatan mental, terutama bagi pihak laki-laki yang merasa dibebani oleh ekspektasi yang berat.

Pendekatan Solutif untuk Tradisi Belis

Menjaga agar belis tetap menjadi simbol penghormatan tanpa menimbulkan beban finansial mengharuskan kita untuk memikirkan ulang maknanya dan mempertimbangkan pendekatan yang lebih fleksibel. Fokus bukan lagi pada besar nominal atau nilai materi, melainkan pada kekuatan simboliknya. Melalui diskusi terbuka dan musyawarah mufakat antara keluarga, komunitas, dan pemimpin adat, solusi yang adil dan tidak memberatkan dapat dicapai.

Beberapa komunitas telah mengambil langkah progresif dengan menyesuaikan jumlah belis berdasarkan kemampuan finansial pihak laki-laki. Pada kesempatan lain, bentuk belis pun diganti menjadi kontribusi simbolis, seperti kerja sama dalam menyelenggarakan pesta pernikahan atau sumbangan non-finansial lainnya. “Kita harus bijak dalam memelihara tradisi dengan cara yang relevan dengan konteks zaman sekarang,” kata Alex Rangga, seorang pemuka adat di Flores Timur.

Terkini