Listrik

Menggali Potensi Ekosistem Baterai Listrik: Pilar Ekonomi Berkelanjutan Indonesia

Menggali Potensi Ekosistem Baterai Listrik: Pilar Ekonomi Berkelanjutan Indonesia
Menggali Potensi Ekosistem Baterai Listrik: Pilar Ekonomi Berkelanjutan Indonesia

JAKARTA - Indonesia terus menunjukkan komitmen serius dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) demi menghadapi tantangan perubahan iklim. Salah satu langkah konkret yang diambil adalah melalui pengesahan Undang-Undang No. 16 Tahun 2016, yang menunjang komitmen kuat negara ini dalam menekan emisi GRK. Salah satu sektor yang mendapat perhatian khusus adalah transportasi. Pemerintah kini mendorong transisi dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik dan menawarkan berbagai insentif untuk memfasilitasi perpindahan ini, termasuk insentif pajak berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 38 Tahun 2023.

Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Bisakah upaya ini memberikan kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang? Untuk menjawab pertanyaan ini, kami berbicara dengan dua pakar dari Universitas Hasanuddin.

Prof Dr Ing Ir Faizal Arya Samman, Dosen Teknik Elektro di Universitas Hasanuddin (Unhas), menyoroti bahwa ekspor bahan mentah telah lama menjadi permasalahan di Indonesia. "Devisa yang dihasilkan dari ekspor bahan mentah sangat kecil, sementara produk-produk olahan yang diimpor memiliki harga yang jauh lebih tinggi," ungkap Faizal. Dia menekankan bahwa strategi hilirisasi yang diterapkan pemerintah bertujuan meningkatkan nilai tambah sumber daya alam, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah terus melakukan upaya terintegrasi, seperti pembangunan smelter peleburan nikel dan pabrik sel baterai di Karawang, Jawa Barat. "Pembangunan ekosistem industri EV baterai dari hulu ke hilir dapat menjadi tonggak ekonomi negara bagi Indonesia," ujar Faizal lebih lanjut.

Menambahkan perspektifnya, Dr. Eng. Rini Novrianti Sutardjo Tui, Dosen Teknik Pertambangan, mengungkapkan besarnya investasi dalam pembangunan pabrik sel baterai, terutama dari LG dan Hyundai, yang mencapai US$ 9,8 miliar atau sekitar Rp 160 triliun. "Investasi ini menunjukkan bahwa investor melihat potensi besar Indonesia dalam produksi baterai listrik, didukung oleh sumber daya nikel yang melimpah," jelas Rini.

Selain itu, Rini mengatakan pembangunan pabrik baterai ini dapat menyerap 20 ribu tenaga kerja, mengurangi pengangguran, dan memberikan dampak positif pada ekonomi. Namun, tantangan tetap ada, terutama terkait sumber bahan baku lain dalam pembuatan sel baterai. Rini menekankan perlunya pasokan komoditas seperti grafit dan litium. "Jika tidak memungkinkan untuk domestik, pemerintah harus menyiapkan strategi impor yang efisien," katanya.

Rini juga menyoroti hambatan di bidang infrastruktur dan kebijakan. "Masyarakat berhak mengetahui ketahanan mobil listrik dalam kondisi geografis yang sulit, seperti banjir atau iklim ekstrem," ujar Rini. Tantangan lain adalah dominasi pembangkit listrik berbasis batubara di Indonesia, yang mengurangi klaim bahwa kendaraan listrik benar-benar bebas emisi.

Faizal, dalam diskusi, mengingatkan bahwa baterai listrik, meskipun inovatif, belum sepenuhnya menghilangkan emisi. "Proses produksi nikel masih sangat bergantung pada batubara," jelasnya, mengutip data emisi dari studi Universitas Indonesia yang menunjukkan bahwa emisi CO2 dari produksi nikel menggunakan batubara mencapai 817,01583 kg CO2 eq.

Di sisi lain, insentif pemerintah memicu diskusi. Rini percaya insentif lebih efisien jika difokuskan pada transportasi umum daripada kendaraan pribadi untuk mengurangi kemacetan di kota besar.

"Kita memerlukan kebijakan yang mengutamakan pengembangan transportasi umum ketimbang membanjiri pasar dengan kendaraan pribadi," tambah Rini.

Sementara itu, Faizal berharap agar ekosistem kendaraan listrik disinergikan dengan penelitian dan pengembangan sumber energi terbarukan. "Kolaborasi antara pemerintah, peneliti, dan pemangku kepentingan diperlukan untuk mengeksplorasi inovasi energi ramah lingkungan," katanya.

Meskipun saat ini Indonesia mungkin belum menjadi pemain utama dalam ekosistem baterai listrik global, ada optimisme bahwa potensi sumber daya, kebijakan pemerintah, dan permintaan global bisa menjadikan Indonesia salah satu pemimpin industri ini di masa depan.

Ekosistem baterai kendaraan listrik, dengan dukungan dan strategi yang tepat, bisa menjadi salah satu pilar utama pembangunan ekonomi berkelanjutan di Indonesia. Ajakan Faizal untuk membuka pintu kerjasama dan melanjutkan inovasi merupakan langkah awal menuju keberlangsungan energi dan ekonomi yang lebih baik di negeri ini.

Upaya ini sekaligus menjanjikan peluang bagi generasi mendatang guna merasakan manfaat pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan. Dengan tekad dan kerja sama seluruh elemen bangsa, visi ekonomi berkelanjutan melalui ekosistem baterai listrik bukanlah sebuah utopia melainkan tujuan yang semakin mendekat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index