Energi

Energi Mikrohidro: Harapan Bersih Masa Depan Batu Sanggan

Energi Mikrohidro: Harapan Bersih Masa Depan Batu Sanggan
Energi Mikrohidro: Harapan Bersih Masa Depan Batu Sanggan

Batu Sanggan, sebuah desa tersembunyi di Kabupaten Kampar, Riau, menghadapi tantangan besar dalam penyediaan energi. Namun, dengan inovasi dan kegigihan masyarakat setempat, energi mikrohidro mencuat sebagai solusi potensial meskipun dihadapkan pada sejumlah kendala, terutama dalam pendanaan.

Kisah Perjuangan Energi di Tengah Alam

Batu Sanggan terletak di wilayah adat yang terjaga di kaki Bukit Rimbang Baling. Dengan akses utama berupa sungai Subayang, warga desa telah lama menghadapi berbagai kesulitan, termasuk dalam mendapatkan akses infrastruktur listrik yang memadai. Hingga tahun 2000, lampu minyak tanah menjadi sumber cahaya utama bagi penduduk desa.

Roni Handri, seorang warga Batu Sanggan, mengisahkan masa lalu sulit tanpa listrik yang stabil. “Ketika saya kecil, penerangan dari lampu minyak tanah sangat sulit didapatkan karena kita jauh dari kota. Membelinya dari pedagang kecil dengan harga yang cukup mahal,” katanya.

Ketergantungan pada genset selama bertahun-tahun membawa beban ekonomi, terutama dengan harga solar yang tinggi. Masyarakat melihat air sungai sebagai potensi solusi energi dan mulai berinisiatif untuk membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH).

“Kita tahu air sungai bisa jadi sumber energi,” ujar Roni. Namun, mendapatkan dukungan dari pemerintah bukanlah perkara mudah. Proposal pembangunan sering terabaikan, dan konflik dengan para pejabat menjadi bagian dari perjuangan mereka.

Meniti Jalan Terjal Menuju Energi Mandiri

Pada 2009, titik cerah mulai muncul saat pembangunan PLTMH akhirnya dimulai. Dibutuhkan kerja keras dan gotong royong warga untuk menyelesaikan proyek ini. Warga harus menghadapi medan yang sulit, mengangkut bahan material secara manual, dan mengatasi berbagai hambatan fisik di lapang.

“Saat hujan turun dan tidak bisa berkebun, kita habiskan waktu untuk mengerjakan PLTMH. Makan bersama, suka duka di lapangan menguatkan silaturahmi di antara kita,” kenang Roni.

Usaha keras mereka membawa sukacita ketika proyek PLTMH selesai dalam waktu kurang dari setahun. “Girangnya tak terhingga. Listrik akhirnya menyala sampai pagi,” tambahnya. Meski awalnya tak stabil, kini PLTMH menjadi tulang punggung energi di Batu Sanggan.

Namun, sayangnya kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Hanya setelah satu setengah bulan, PLTMH mengalami kerusakan, kembali menjerumuskan desa dalam kegelapan.

PLTMH: Tonggak Energi Berkelanjutan

Perjuangan masyarakat Batu Sanggan tak henti di situ. Selama lima tahun berikutnya, mereka berusaha keras mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur tersebut. Kini PLTMH telah menjadi sumber listrik utama bagi lebih dari 80 rumah di desa itu.

Tarikan iuran sebesar Rp30 ribu per bulan dari warga digunakan untuk biaya operasional dan pemeliharaan PLTMH. "Ini lebih murah daripada genset diesel yang bisa mencapai Rp100 ribu per bulan," ungkap Roni.

Meski begitu, kekhawatiran tetap ada. Bagaimana nasib masyarakat Batu Sanggan apabila PLTMH kembali mengalami kerusakan? “Tenaga kita terbatas pengetahuan, untuk jangka panjang, perlu pelatihan agar bisa memperbaiki atau memahami teknologi lebih dalam,” jelas Roni.

Ancaman lainnya adalah masuknya jaringan PLN. Masyarakat berharap PLN dapat menjadi sumber energi cadangan tanpa mengesampingkan PLTMH yang dibangun dengan susah payah. “PLN lebih sebagai cadangan, jangan sampai PLTMH tersia-sia," kata Roni.

Potensi Kerjasama untuk Demokratisasi Energi

Beyyra Triasdian, Manajer Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia, turut merasakan ketidakstabilan akses listrik selama dua malam tinggal di Batu Sanggan. Ia menekankan pentingnya energi terbarukan bukan sekedar tren tetapi kebutuhan mendasar untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat terpencil.

“Energi terbarukan adalah hak warga negara untuk mendapatkan kehidupan layak,” ujarnya. PLN seharusnya tidak melihat energi berbasis komunitas sebagai ancaman tetapi sebagai mitra potensial dalam mewujudkan demokratisasi energi, seperti yang dikatakan oleh Bhima Yudhistira, Direktur Celios.

“Skema pembiayaan banyak tersedia, dari dana desa, APBD, KUR, hingga CSR, tetapi seringkali informasi ini tak menjangkau masyarakat pedesaan,” kata Bhima. “Kebutuhan untuk integrasi antara pembangkit listrik komunitas dengan jaringan besar adalah solusi untuk keseimbangan dan keberlanjutan energi.”

Batu Sanggan menjadi contoh nyata perjuangan lokal dalam mendapatkan energi bersih dan terbarukan. Infrastruktur pembangkit berbasis komunitas seperti PLTMH seharusnya mendapat dukungan lebih besar baik dari pemerintah maupun sektor swasta. Optimisme terus menyala, sementara itu mereka berjuang dan belajar mengelola energi bersih di wilayah mereka sendiri.

“Perjuangan kita ini berdarah-darah, karena kita mendapatkan mikrohidro, seperti mendapatkan emas, saking berharganya,” ujar Roni memberi kesimpulan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index