Harga minyak dunia terus meningkat, dengan minyak mentah Brent menembus angka USD 80 per barel untuk pertama kalinya dalam empat bulan terakhir. Kenaikan ini, yang berlangsung hingga sesi ketiga pada perdagangan Senin, dipicu oleh sanksi lebih luas yang diterapkan Amerika Serikat terhadap minyak Rusia. Langkah ini diperkirakan akan mempengaruhi ekspor ke dua pembeli utama minyak Rusia, yaitu India dan China.
Dilansir dari CNBC, harga minyak mentah Brent berjangka naik USD 1,42 atau 1,78% menjadi USD 81,18 per barel pada pukul 1:32 siang ET, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS meningkat USD 2,52 atau 3,29% menjadikannya USD 79,09 per barel. Sejak tanggal 8 Januari, harga minyak Brent dan WTI masing-masing telah meningkat sekitar 6%.
Pendorong Kenaikan Harga
Peningkatan harga minyak ini sebagian besar didorong oleh keputusan AS untuk memperluas sanksi terhadap sektor energi Rusia. Sanksi ini mencakup entitas seperti Gazprom Neft dan Surgutneftegaz serta 183 kapal yang terlibat dalam pengiriman minyak Rusia. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk memukul pendapatan yang mendanai perang Rusia di Ukraina.
Sanksi AS menimbulkan kekhawatiran di kalangan pedagang dan analis mengenai kemungkinan gangguan pada ekspor minyak Rusia. "Ada kekhawatiran nyata di pasar tentang gangguan pasokan. Skenario terburuk untuk minyak Rusia tampaknya merupakan skenario yang realistis," kata Tamas Varga, seorang analis PVM. Namun, Varga juga menyatakan ketidakpastian mengenai perkembangan politik di AS, khususnya dengan pelantikan Donald Trump yang dijadwalkan berlangsung Senin depan.
Dampak terhadap Pasar Minyak Global
Prediksi dari perusahaan keuangan terkemuka, Goldman Sachs, menunjukkan bahwa kapal-kapal yang menjadi target sanksi baru tersebut mengangkut sekitar 1,7 juta barel per hari, atau 25% dari ekspor Rusia, pada tahun 2024. Goldman Sachs menduga harga minyak Brent berpotensi meningkat dari kisaran proyeksi USD 70-USD 85.
Selain itu, ketatnya pasokan memicu terjadinya backwardation terluas sejak kuartal ketiga tahun 2024, yang merupakan situasi ketika harga minyak untuk pengiriman segera lebih tinggi daripada harga untuk pengiriman di masa mendatang. Ini menandakan ekspektasi pasar bahwa ketersediaan minyak dalam waktu dekat akan lebih sedikit.
Igho Sanomi, pendiri Taleveras Petroleum — sebuah perusahaan pedagang minyak dan gas — menyatakan, "Tidak seorang pun akan menyentuh kapal-kapal yang ada dalam daftar sanksi atau mengambil posisi baru. Pasokan Rusia akan terganggu, tetapi kami tidak melihat hal ini berdampak signifikan karena OPEC memiliki kapasitas cadangan untuk mengisi kesenjangan pasokan tersebut."
Peran OPEC+ dalam Stabilitas Pasar
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama dengan sekutunya yang dikenal sebagai OPEC+, yang dipimpin oleh Rusia, dipandang memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas pasokan minyak global. Kelompok ini menahan produksi sebanyak 5,86 juta barel per hari, atau sekitar 5,7% dari total permintaan global. Kapasitas cadangan mereka diyakini bisa menutupi kekurangan akibat terganggunya pasokan dari Rusia.
Namun, OPEC+ menghadapi tantangan logistik dan diplomatik dalam merespons kondisi pasar yang bergejolak ini. Meski begitu, para anggota OPEC+ sejauh ini menunjukkan komitmen untuk tetap mempertahankan keseimbangan pasokan demi menjaga stabilitas harga di tengah tekanan geopolitik yang meningkat.
Implikasi Jangka Panjang
Para pengamat pasar minyak memperkirakan bahwa dalam jangka panjang, sanksi terhadap Rusia bisa merombak peta perdagangan energi dunia. Dengan Tiongkok dan India berpotensi mencari sumber minyak alternatif selain Rusia, negara-negara produsen lain seperti di Timur Tengah, Afrika, dan Amerika dapat meraih keuntungan dengan meningkatkan ekspor ke pasar Asia yang merupakan salah satu konsumen minyak terbesar di dunia.
Sementara itu, investor dan negara pengimportir harus bersiap menghadapi volatilitas harga yang lebih tinggi, mengingat dampak sanksi dan penyesuaian alur ekspor minyak internasional.
Keseluruhan situasi ini mencerminkan betapa kompleksnya pasar energi global yang sangat dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi, dan kebijakan internasional. Dengan bergulirnya sanksi dan dinamika hubungan antar negara, pasar minyak dunia di tahun 2025 akan terus menjadi perhatian utama bagi pengambil kebijakan dan pelaku pasar.
Harga minyak yang melonjak di tengah sanksi terhadap Rusia menjadi salah satu ujian bagi pasar energi dunia. Meskipun ada kapasitas cadangan dari OPEC+, dampak dari restriksi ini bisa memicu reaksi berantai yang mengubah konfigurasi pasar minyak global. Dalam menghadapi ketidakpastian ini, pelaku pasar dan pemerintah di berbagai negara diharapkan dapat beradaptasi serta merespons kebijakan yang berdampak langsung terhadap stabilitas energi dan ekonomi global.