Pada Senin, 13 Januari 2025, pasar minyak dunia mengalami lonjakan harga yang signifikan, mencapai level tertinggi dalam empat bulan terakhir. Kenaikan ini dipicu oleh sanksi baru yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat terhadap minyak Rusia, mendorong pembeli utama seperti India dan China untuk mencari alternatif sumber pasokan minyak.
Menurut laporan yang diterbitkan oleh Reuters, Selasa, 14 Januari 2025, harga patokan minyak Brent melonjak sebesar 1,6% atau setara dengan US$ 1,25, menjadi US$ 81,01 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mengalami peningkatan sebesar 2,9% atau US$ 2,25, menjadikannya US$ 78,82 per barel. Angka ini menandai capaian tertinggi untuk Brent sejak 26 Agustus 2024, dan untuk WTI sejak 12 Agustus 2024.
Lonjakan pada harga minyak ini juga ditandai dengan kondisi overbought yang terjadi selama dua hari berturut-turut. Hal ini mencerminkan tekanan pembelian intensif dalam beberapa sesi perdagangan terakhir, di mana premi kontrak bulan depan terhadap kontrak berjangka berikutnya, yang dikenal dalam dunia energi sebagai time spreads, menunjukkan peningkatan signifikan. Ini menyiratkan bahwa harga minyak dunia sedang menuju penutupan pada level tertinggi dalam beberapa bulan terakhir.
Tidak hanya harga yang meningkat, minat pasar terhadap perdagangan energi juga mencatatkan kenaikan tajam. Volume perdagangan minyak Brent di Intercontinental Exchange bahkan mencapai rekor tertinggi sejak Maret 2020. Di sisi lain, volume perdagangan berjangka WTI di New York Mercantile Exchange mengalami lonjakan signifikan sejak Maret 2022.
Sanksi AS terhadap Rusia, yang mengincar produsen dan pengangkut minyak negara tersebut, merupakan langkah yang bertujuan untuk menekan pendapatan Rusia. Sebagai eksportir minyak terbesar kedua di dunia, langkah ini memberikan tekanan signifikan bagi pasar global. Menurut Tamas Varga, analis dari PVM, "Kekhawatiran terhadap potensi gangguan pasokan semakin nyata. Skenario terburuk bagi minyak Rusia tampaknya kian mendekati kenyataan.”
Namun, Varga juga menunjukkan bahwa ada ketidakpastian terkait pengaruh lanjutan dari situasi ini, terutama setelah Donald Trump kembali dilantik sebagai Presiden AS dalam waktu dekat.
Dalam analisisnya, Goldman Sachs memproyeksikan bahwa kapal-kapal yang menjadi target sanksi baru ini mengangkut sekitar 1,7 juta barel minyak per hari pada 2024. Ini setara dengan sekitar 25% dari total ekspor minyak Rusia. Bank ini juga memprediksi bahwa harga minyak Brent ke depan akan lebih cenderung berada di atas kisaran US$ 70-85.
Kondisi sanksi baru ini telah menyebabkan sekitar 65 kapal tanker minyak tertahan di berbagai lokasi, termasuk di lepas pantai Rusia dan China. Kapal-kapal ini sebelumnya digunakan untuk mengirimkan minyak ke India dan China pasca sanksi Barat sebelumnya dan pembatasan harga oleh negara-negara G7 pada 2022.
Perubahan dalam pola perdagangan ini memaksa minyak Rusia untuk berpindah dari pasar Eropa ke Asia. Sejumlah kapal tersebut juga diketahui membawa minyak dari Iran, yang juga dikenai sanksi serupa.
Situasi pasar energi semakin kompleks ketika enam negara Uni Eropa meminta Komisi Eropa untuk menurunkan batas harga minyak Rusia yang ditetapkan oleh negara-negara G7. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi pendapatan Rusia untuk membiayai konflik tanpa menimbulkan dampak besar pada pasar global.
Para pelaku industri energi dan pemerintah di seluruh dunia kini mengamati dengan cemas perkembangan situasi ini. Risiko gangguan pasokan dan ketidakstabilan harga menambah ketidakpastian di tengah kondisi geopolitik yang sudah menegang. Langkah peralihan sumber pasokan oleh negara-negara besar seperti India dan China juga berpotensi mengubah peta perdagangan minyak dunia di masa mendatang.
Para analis memperingatkan bahwa pasar energi global berada pada titik kritis, di mana ketergantungan tinggi pada pasokan dari negara-negara yang dikenai sanksi dapat menyebabkan volatilitas harga yang lebih besar. Dalam jangka panjang, perubahan ini mungkin mendorong percepatan transisi menuju sumber energi yang lebih berkelanjutan, tetapi dalam jangka pendek, tantangan besar tetap ada dalam hal kestabilan pasokan dan harga.
Dengan demikian, komunitas internasional, terutama negara-negara importir besar, dihadapkan pada dilema untuk menyeimbangkan kebutuhan energi dengan implikasi geopolitik dan ekonomi dari sanksi yang diterapkan. Adalah penting bagi para pemangku kepentingan untuk terus berdialog dan mencari solusi kolaboratif agar bisa menciptakan kondisi pasar yang lebih stabil dan dapat diprediksi.