JAKARTA – Di tengah potensi surplus minyak global, para pelaku pasar saham di sektor minyak dan gas (migas) tengah berhadapan dengan sejumlah tantangan yang bisa memengaruhi kinerja mereka sepanjang tahun ini. Tekanan akibat kelebihan pasokan diprediksi menjadi salah satu tantangan utama, meskipun terdapat upaya peningkatan investasi migas dan penyederhanaan regulasi oleh pemerintah.
Timothy Wijaya, analis dari BRI Danareksa Sekuritas, dalam riset terbarunya, mengungkap prediksi menantang yang dihadapi pasar minyak global. "Ancaman pelemahan pasar minyak sudah di depan mata," kata Timothy. “Hal ini disebabkan oleh kemungkinan peningkatan produksi OPEC+ serta lemahnya konsumsi dari Tiongkok.”
Sebagai salah satu langkah responsif, OPEC+ mengakui adanya pelemahan pasar minyak dan mengumumkan penundaan rencana peningkatan produksi besar-besaran. Keputusan memperpanjang jadwal peningkatan produksi sebesar 2,2 juta barel per hari dari Januari 2025 hingga periode April 2025 sampai September 2026, menjadi indikasi kuat betapa seriusnya situasi ini.
Permintaan Global dan Dampaknya
Kontribusi besar dalam pembicaraan ini adalah pergeseran dinamika permintaan di Tiongkok. Negara ini mengalami lonjakan adopsi kendaraan listrik (EV), sehingga puncak permintaan petrokimia hadir lebih cepat dari yang diperkirakan. “Penjualan EV di Tiongkok telah memecahkan rekor dan menjadi mayoritas penjualan mobil sejak Juli 2024,” tambah Timothy, menguak salah satu alasan utama permintaan minyak mentah impor melambat, dan diperkirakan pertumbuhan yang terbatas setidaknya hingga 2027.
Seperti yang tercatat dalam laporan S&P Global, permintaan domestik di Tiongkok juga terpengaruh oleh krisis pasar properti dan perlambatan ekonomi yang terus terjadi. Semua ini berujung pada proyeksi surplus yang lebih besar, dengan kemungkinan tambahan pasokan minyak AS yang dipicu oleh kebijakan pro-minyak di bawah kepemimpinan Donald Trump mendatang.
Trump diharapkan akan meningkatkan produksi minyak domestik dengan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan industri, termasuk mencabut insentif EV, meningkatkan ekspor LNG, memberikan akses lebih luas terhadap sewa lahan eksplorasi, dan relaksasi peraturan lingkungan. “Produksi minyak AS telah kuat, melebihi 13 juta barel per hari dan diperkirakan akan berlanjut setelah Trump pada Januari 2025 mengumumkan kebijakan pro-minyak,” ungkap Timothy dalam laporan tersebut.
Proyeksi Surplus Minyak
Laporan bulanan terbaru dari Badan Energi Internasional (IEA) menunjukkan bahwa pasar minyak akan berkembang dengan permintaan tumbuh sebesar 1,1 juta barel per hari tahun depan. Dengan itu, total permintaan diperkirakan mencapai 103,9 juta barel per hari pada 2025. Di sisi penawaran, suplai minyak global diprediksi melonjak 1,9 juta barel per hari, mencapai 104,8 juta barel per hari pada 2025, mengecualikan produksi OPEC+. Artinya, pasar akan menghadapi surplus 900 ribu barel per hari, berbanding 310 ribu barel per hari pada 2024.
Respon Pemerintah dan Peluang Investasi
Regulasi terbaru yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diyakini menjadi angin segar bagi iklim investasi migas. Dengan menyederhanakan perizinan, melelang blok baru, serta mengembalikan persentase bagi hasil untuk eksplorasi dengan peraturan gross split baru menggantikan regulasi tahun 2017, pemerintah berharap bisa menarik investasi lebih besar dalam sektor ini.
Indikasi positif lainnya, sebanyak 15 proyek hulu migas siap beroperasi di 2025 dengan potensi produksi 191 ribu barel minyak per hari. "Usaha ini bertujuan untuk mencapai target produksi nasional 1 juta barel per hari dan 12 bscfd tahun 2030," kata Timothy, menunjukkan langkah strategis menuju keberlanjutan energi nasional.
Rekomendasi Saham
Menyikapi dinamika ini, Timothy merevisi pandangan sektor migas menjadi netral, dengan asumsi harga minyak diramalkan turun ke US$ 75 per barel di 2025 dan US$ 72 per barel di 2026. “Ini menghadirkan kesempatan bagi PT Wintermar Offshore Marine Tbk (WINS), yang diharapkan mengalami tingkat utilisasi lebih tinggi ditopang oleh permintaan eksplorasi yang kuat,” saran Timothy, menetapkan target harga WINS di Rp 610 per saham.
Sementara itu, PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) yang sebelumnya memberikan kontribusi signifikan, menghadapi kemungkinan tekanan dari stagnasi produksi dan penurunan harga minyak. "MEDC tetap menarik untuk dibeli, namun dengan target harga yang disesuaikan menjadi Rp 1.400 per saham," timpal Timothy.
Pengaruh surplus minyak ini mungkin memberikan tantangan bagi sektor migas, namun kesempatan selalu ada, terutama dengan strategi investasi yang tepat dan memanfaatkan kebijakan pemerintah yang kondusif.