korporasi

Rencana Pembabatan 20 Juta Hektare Hutan di Indonesia Dikhawatirkan Memperburuk Ketimpangan Kepemilikan Lahan

Rencana Pembabatan 20 Juta Hektare Hutan di Indonesia Dikhawatirkan Memperburuk Ketimpangan Kepemilikan Lahan
Rencana Pembabatan 20 Juta Hektare Hutan di Indonesia Dikhawatirkan Memperburuk Ketimpangan Kepemilikan Lahan

Jakarta - Pemerintah Indonesia merencanakan pembabatan hutan seluas 20 juta hektare, yang setara dengan dua kali luas Pulau Jawa, untuk proyek lumbung pangan dan energi. Langkah ini mendapat kritik keras dari berbagai pihak, termasuk aktivis lingkungan dan masyarakat adat, yang khawatir akan memperparah ketimpangan kepemilikan lahan antara korporasi dan masyarakat adat.

Wacana ini pertama kali diungkapkan oleh Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, pada akhir Desember. Raja Juli mengungkapkan bahwa rencana ini telah dalam tahap pembahasan informal dengan Presiden Prabowo Subianto. "Ini bukan hanya food estate besar, tapi juga lumbung pangan kecil di kabupaten, kecamatan, bahkan desa," Ujarnya. Raja Juli menambahkan bahwa pemerintah berencana menanam padi gogo sebagai basis lumbung pangan dan pohon aren sebagai sumber energi bioetanol, Rabu, 8 Januari 2025.

Namun, rencana ini memantik kekhawatiran berbagai pihak, terutama terkait dampaknya terhadap masyarakat adat dan lingkungan. BBC News Indonesia telah mewawancarai beberapa pihak untuk mendapatkan pandangan mereka terkait rencana ini.

Kekhawatiran Masyarakat Adat

Ketakutan utama adalah potensi hilangnya ruang hidup dan budaya masyarakat adat yang dari generasi ke generasi menggantungkan hidup kepada hutan. Pengendum Tampung, anggota Suku Anak Dalam di Jambi, berkata, "Bicara ruang hidup orang Rimba, ada yang namanya hutan tempat kelahiran, ada hutan untuk berburu atau melangun." Menurutnya, perpindahan yang dilakukan saat ada anggota yang meninggal kini terhalang oleh perusahaan perkebunan sawit dan proyek transmigrasi.

Pengendum menekankan bahwa hutan bagi masyarakat adat bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga bagian dari identitas dan keberlanjutan budaya mereka. Dalam lingkungan yang kian terdesak oleh ekspansi perkebunan, masyarakat adat seperti Orang Rimba kerap berkonflik dengan perusahaan dan warga setempat. "Pemerintah biasanya hanya memberi izin perusahaan berbasis peta, tanpa melihat bahwa di dalamnya ada kehidupan manusia," ujar Pengendum.

Cermin Kasus Masyarakat Dayak Seberuang

Pengalaman berdaulatnya masyarakat adat Dayak Seberuang di Kalimantan Barat dapat menjadi cerminan bagaimana pengelolaan hutan yang bertanggung jawab bisa dilakukan. Masyarakat ini tidak mengalami konflik karena mereka berhak penuh atas hutan adat seluas 4.272 hektare yang ditetapkan oleh KLHK. "Di Kampung Silit itu tidak ada konflik. Hutan mereka tetap terjaga, dijauhkan dari aktivitas industri ekstraktif," kata Hendrikus Adam, Direktur Walhi Kalimantan Barat.

Menurut Hendrikus, masyarakat Dayak Seberuang berhasil memanfaatkan aliran sungai untuk produksi listrik mikrohidro, sebuah inisiatif mandiri yang membuktikan bahwa masyarakat adat bisa maju tanpa merusak hutan. Mereka juga mampu memanfaatkan tumbuhan lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan, tanpa mengandalkan produk komersial.

Dampak Deforestasi Terhadap Keanekaragaman Hayati dan Bahasa

Pemanfaatan hutan secara masif yang diwacanakan dikhawatirkan memusnahkan keanekaragaman hayati dan menghilangkan bahasa asli orang-orang adat. Akbar Kurniawan, seorang linguis dari Universitas Ma'arif Nahdlatul Ulama Kebumen, menyebut deforestasi dapat menyebabkan hilangnya kosakata, tata bahasa, dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan ekosistem hutan. "Klasifikasi dan pembagian hutan pada wilayah adat Orang Rimba adalah wujud dari konservasi tradisional yang berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu," ungkap Akbar.

Hilangnya hutan diprediksi akan mengakibatkan “linguisida”—sebuah proses yang menghancurkan bahasa dan budaya, merusak jati diri masyarakat adat sekaligus mencerminkan kebudayaan mereka. Risiko ini mengintai tidak hanya pada Orang Rimba, tetapi juga komunitas adat lain yang menggantungkan hidupnya pada hutan.

Panggilan untuk Kehati-hatian

Aktivis dan peneliti menyerukan kehati-hatian dalam menjalankan proyek lumbung pangan dan energi ini. Uli Arta Siagian dari Eksekutif Nasional Walhi menyoroti bahwa proyek skala besar ini dapat memperburuk ketimpangan lahan, lebih parah daripada program perhutanan sosial era pemerintahan sebelumnya. Uli menyatakan, "Proyek 20 juta hektare ini juga akan lebih berdampak buruk karena sudah hampir dipastikan alokasi hutan jatuh ke tangan korporasi."

Sebagai solusi, Uli dan aktivis lainnya menuntut adanya pengakuan dan pemberian hak penuh kepada masyarakat adat atas pengelolaan hutan dan lahan mereka. Dengan demikian, masyarakat dapat berdaulat dan ikut serta dalam pelestarian lingkungan, sekaligus mempertahankan budaya dan identitas mereka.

Rencana pemerintah membabat 20 juta hektare hutan ini memicu perdebatan hangat tentang masa depan hutan Indonesia dan masyarakat adat yang hidup di sekitarnya. Pemerintah diharapkan lebih bijaksana dalam memformulasikan kebijakan yang tidak hanya menguntungkan korporasi, tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan dan melindungi hak-hak masyarakat adat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index