Pemerintah Kabupaten Bekasi bakal menghadapi tantangan baru terkait anggaran belanja daerah menyusul kebijakan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen untuk barang dan jasa mewah yang akan dimulai pada tahun 2025. Kebijakan ini diprediksi akan berdampak pada beberapa aspek belanja, terutama infrastruktur dan pengadaan kendaraan dinas.
Pj Sekretaris Daerah Kabupaten Bekasi, Jaoharul Alam, menjelaskan bahwa peningkatan PPN ini akan signifikan memengaruhi belanja yang berhubungan dengan infrastruktur teknologi informasi (IT). "Paling nanti di belanja infrastruktur yang terkait dengan IT, itu yang banyak. Misalnya, di Diskominfo belanja IT, sebagian dari barang-barang itu kan barang mewah," ujarnya.
Di samping infrastruktur, belanja untuk kendaraan dinas juga tidak luput dari pengaruh kebijakan ini. Jaoharul mengungkapkan bahwa akan ada implikasi terhadap alokasi dana untuk pengadaan kendaraan dinas, yang biasanya dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bekasi. "Termasuk nanti mungkin ada belanja kendaraan untuk pengadaan bagi bupati dan wakil bupati baru. Tapi, itu tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap komponen APBD Kabupaten Bekasi," tambahnya.
Petunjuk Teknis dan Masa Transisi
Untuk mendukung implementasi kebijakan ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah menerbitkan petunjuk teknis sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024. Hal ini dituangkan lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2025. Petunjuk ini dimaksudkan untuk membantu pelaku usaha dan masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap aturan baru.
“Kami menyadari bahwa terdapat kebutuhan dari pelaku usaha untuk dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam PMK 131 Tahun 2024,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, dalam pernyataan tertulis kepada Radar Bekasi. Ia menekankan perlunya penyesuaian administrasi Wajib Pajak dalam menerbitkan faktur pajak dan prosedur pengembalian pajak jika terjadi ketidaksesuaian pungutan.
Dwi menambahkan bahwa pemerintah memberikan masa transisi selama tiga bulan, dari 1 Januari hingga 31 Maret 2025, agar pelaku usaha dapat menyesuaikan sistem administrasi wajib pajak mereka. “Antara lain terkait dengan penyesuaian sistem administrasi Wajib Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak dan cara pengembalian pajak jika PPN sebesar 12 persen terlanjur dipungut yang seharusnya adalah sebesar 11 persen,” imbuhnya.
Ketentuan Baru dalam Pembuatan Faktur Pajak
Selama masa transisi ini, pelaku usaha diberi waktu untuk mengubah sistem penerbitan faktur pajak mereka sesuai dengan peraturan baru. Faktur pajak harus mencantumkan PPN terutang sebesar 11 persen dari harga jual untuk barang-barang selain yang dikategorikan sebagai mewah. Tetapi jika terjadi kelebihan pungutan PPN sebesar 12 persen, pembeli berhak meminta pengembalian sebesar 1 persen dari penjual.
Penjual diwajibkan oleh undang-undang untuk mengamandemen faktur pajak pengganti yang mengakomodasi permintaan pengembalian kelebihan pungutan tersebut. “Penjual berkewajiban mengganti faktur pajak untuk mengakomodasi permintaan pengembalian tersebut,” tutup Dwi.
Dengan penerapan dan penyesuaian ini, pemerintah daerah dan pelaku usaha diharapkan dapat beradaptasi terhadap kebijakan pajak baru sambil memastikan pengelolaan anggaran dan operasional tetap efisien. Semakin cepat penyesuaian dilakukan, semakin baik bagi semua pihak untuk memahami dan menerapkan aturan ini secara optimal, demi kelancaran aktivitas fiskal dan ekonomi di tingkat daerah maupun nasional.