Sejak puluhan tahun lalu, wilayah perairan Halmahera Timur hingga Halmahera Tengah di Maluku Utara dikenal sebagai surganya nelayan untuk mencari hasil laut. Namun, cerita ini mulai berubah sejak edisi tahun 2018 ketika PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) mulai beroperasi di Teluk Weda. Akibatnya, aktivitas kapal pengangkut ore nikel kian mendorong tergerusnya ruang tangkap tradisional nelayan, yang kini kerap kali menjerit berharap keadilan.
Nasrudin Momole, seorang warga Desa Bicoli, dengan penuh emosional menyampaikan keluhan mereka melalui rekaman video yang diunggah pada Selasa, 21 Januari 2025. "Pak, ibu, tolong kami masyarakat kecil, masyarakat nelayan. Bantu kami menjaga laut kami. Ini kapal telah melintas di antara sela-sela Pulau Woto dan daratan Pulau Halmahera. Di sinilah tempat kami mencari hidup,” katanya dengan suara lirih.
Dalam video tersebut, tampak jelas sebuah tugboat menarik tongkang yang diyakini membawa ore nikel. Video itu diambil sekitar 10-15 kilometer dari pesisir pantai Desa Bicoli, Kecamatan Maba Selatan, Haltim, pada pagi hari Senin, 20 Januari 2025. Aktivitas ini bukanlah hal baru, tetapi telah terjadi berulang kali dan menjadi perhatian utama bagi masyarakat setempat.
Perubahan signifikan nampak sejak hadirnya IWIP
Sebelum 2018, perusahaan tambang di Haltim memasok ore nikelnya ke Kecamatan Pomalaa, Sulawesi Tenggara, di mana titik jalur kapal jelas jauh dari kawasan pesisir. Namun sejak IWIP beroperasi, semua ore dari Haltim masuk IWIP, dan kapal-kapal melintas dengan jarak kurang dari 10 kilometer dari pulau-pulau, merusak jalur tradisional mereka.
“Dalam sehari, biasanya dua hingga tiga kapal melintas di perairan sekitar. Saya juga belum bisa pastikan dari perusahaan tambang mana, tapi ini sudah sangat mengganggu,” tambah Nasrudin.
Hilir mudik kapal pengangkut ore nikel ini membuat nelayan di Kecamatan Maba Selatan, meliputi desa-desa seperti Gotowasi, Loleolamo, Peteley, Waci, Momole, Kasuba, Bicoli, Sil, dan Sowoli, mengalami penurunan dramatis dalam hasil tangkapan mereka, yang biasanya terdiri dari jenis ikan pelagis seperti cakalang dan julung. "Sebelum kapal melintas, kami dapat mencapai ton tangkapan," lanjut Nasrudin.
Masalah tidak berhenti di sini. Nasrudin bersama nelayan lainnya kerap menemukan ABK yang membersihkan sisa ore di tongkang setelah kembali dari IWIP, yang bahkan kadang meninggalkan jejak oli mengambang di permukaan laut. Satu insiden mencatat adanya jaring kapal bagan terkena oli, antara Pulau Belemsi dan Tanjung Buli, sekitar 5 mil dari Desa Maba Pura, Haltim, pada Jumat, 17 November 2024, sekitar pukul 20.00 WIT.
"Mereka kedapatan mencuci ore di atas kapal setelah bongkar di IWIP. Ketika mereka mencuci kapal, tanah jatuh ke laut, dan limbah oli mengganggu perikanan kami," ungkap Nasrudin dengan frustrasi.
Nasrudin dan beberapa nelayan telah mengajukan keluhan ini kepada pemerintah desa, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta DPRD Haltim sejak tahun 2022, dengan harapan agar jalur kapal ini bisa diubah. Bahkan aksi di laut sempat digelar meski berakhir dengan ketegangan.
Protes tersebut belum mendapatkan respon positif, baik dari perusahaan maupun pemerintah."Tapi dengan kondisi seperti itu kami tetap melaut karena hanya itu yang menunjang kebutuhan ekonomi kami," ujar Nasrudin sambil berharap ada solusi dari pihak berwenang.
Isu serupa juga dialami di Halmahera Tengah. Seorang warga Desa Banemo, Kecamatan Patani Barat, berinisial TA, menyatakan aktivitas kapal ore sudah mencapai puluhan kali dalam sehari. Keluhan nelayan ini bahkan sudah disampaikan saat pelatihan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Halteng, namun belum ada perubahan yang berarti terkait rute kapal tersebut.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Halmahera Tengah, Abdul Rahim Yau, menjanjikan akan melakukan koordinasi lebih lanjut dengan Pj Bupati Halteng, Bahri Sudirman. Sementara itu, usaha untuk menghubungi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Halmahera Timur, Hadijah Talib, belum berbuah hasil hingga berita ini diturunkan.
Dinamisator JATAM Maluku Utara, Julfikar Sangaji, mengungkapkan, “Hampir semua tambang nikel di Halmahera Timur memasok ore nikel ke PT IWIP menggunakan kapal tongkang, dimana kapalnya kerap melewati wilayah tangkap nelayan dan mengganggu aktivitas mereka.”
Menurut Julfikar, situasi ini telah membuat lima desa di Maba Selatan merasakan dampak hilir-mudik kapal tersebut, yang mengakibatkan produktivitas nelayan menurun drastis. "Jalur lintasan ini tidak hanya mengganggu nelayan tetapi juga perairan tersebut dicanangkan sebagai tempat konservasi laut," tambahnya.
“Ore nikel yang tidak terikat sering jatuh ke laut, dan kebisingan tugboat membuat ikan menjauh. Karena ini, kami menyerukan penghentian operasi yang mengikis infrastruktur ekologis serta menghilangkan ruang produksi warga,” tutup Julfikar.
Dampak dari booming industri nikel ini tak hanya menekan hasil ekonomi para nelayan tetapi juga mengancam keseimbangan ekosistem laut yang telah lama menjadi penopang kehidupan masyarakat Halmahera. Diharapkan ada kebijakan dan solusi konkrit yang dapat menyelamatkan situasi kritis ini.