Jakarta - Perbankan di Indonesia menghadapi tantangan dan peluang besar dalam upaya mendukung pembiayaan berkelanjutan sebagai bagian dari solusi mengatasi perubahan iklim. Peran signifikan sektor ini dapat terlihat melalui pemberian pembiayaan yang tidak hanya berfokus pada keuntungan ekonomi, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap perlindungan lingkungan dan kesejahteraan sosial. Mengabaikan risiko iklim dan tindakan adaptasi dapat berpotensi meningkatkan kredit bermasalah, demikian para ahli memperingatkan.
Hal tersebut disampaikan dalam peluncuran riset dan diskusi bertajuk “Membangun Masa Depan Berkelanjutan: Kemajuan Bank dalam Pembiayaan Hijau di Indonesia” yang diadakan pada Rabu, 22 Januari 2025 di Jakarta.
Acara ini diselenggarakan oleh Koalisi ResponsiBank Indonesia, bagian dari jaringan global Fair Finance International (FFI) dan Fair Finance Asia, yang meluncurkan penelitian terbaru mengenai kebijakan pembiayaan berkelanjutan bank-bank di Indonesia, Kamis, 23 Januari 2025.
Dalam laporannya, Koalisi ResponsiBank Indonesia menyoroti pentingnya peran lembaga keuangan dalam memastikan pembangunan berkelanjutan dan menanggulangi perubahan iklim. "Perbankan memiliki tanggung jawab moral dan ekonomi untuk berkontribusi dalam penyelesaian masalah iklim yang mendesak,” ujar Ricko Nurmansyah, peneliti dari The Prakarsa.
Data menunjukkan bahwa di tahun 2021, Kementerian Keuangan RI mencatat kebutuhan investasi terkait iklim pada 2030 akan mencapai 285 miliar dollar AS. Namun, anggaran pemerintah hanya mampu mencakup 34 persen dari kebutuhan tersebut, setara dengan sekitar 250 miliar dollar AS. “Ini menunjukkan bahwa ada celah besar yang harus diisi, dan perbankan dapat membantu dalam menjembatani gap tersebut melalui pembiayaan yang proaktif,” tambah Ricko.
Pembiayaan berkelanjutan bukan hanya soal angka, melainkan tentang memahami dan mengintegrasikan aspek-aspek lingkungan dan sosial dalam keputusan pengelolaan keuangan. Menurut riset tersebut, bank di Indonesia telah mulai mengadopsi kebijakan pembiayaan hijau, namun masih terdapat banyak ruang untuk peningkatan.
Para pakar menekankan perlunya strategi yang lebih terencana dan menyeluruh. "Perubahan iklim bukan lagi ancaman di masa depan, tetapi kenyataan saat ini yang memerlukan tindakan segera dan kolaboratif," ujar Ricko. Implementasi kebijakan yang mendukung keberlanjutan harus menjadi prioritas di industri perbankan agar dapat memberikan dampak yang berarti.
Pendekatan pembiayaan baru bisa mencakup investasi dalam proyek-proyek ramah lingkungan, seperti energi terbarukan dan infrastruktur hijau. Bank juga dapat menawarkan produk keuangan yang mendukung masyarakat untuk melakukan praktik yang lebih berkelanjutan, misalnya melalui pinjaman dengan suku bunga rendah untuk teknologi ramah lingkungan.
Keberhasilan pembiayaan berkelanjutan juga bergantung pada kemampuan bank untuk secara efektif mengevaluasi risiko iklim dan menghargai proyek-proyek yang berpotensi besar dalam menurunkan emisi karbon. Manajemen risiko yang baik menjadi krusial untuk meminimalkan kredit bermasalah yang bisa timbul dari kegagalan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim.
"Di era perubahan cepat ini, bank yang mampu menyesuaikan diri dengan pendekatan berkelanjutan akan memiliki keunggulan kompetitif," tegas Ricko. "Ini juga menjadi langkah penting dalam menunjukkan bahwa sektor keuangan dapat berfungsi sebagai katalisator untuk perubahan positif."
Sebagai langkah konkret, bank diharapkan dapat lebih transparan dalam pelaporan kebijakan dan komitmen mereka terhadap pembiayaan berkelanjutan. Kerjasama antara sektor publik dan swasta juga diperlukan untuk mencapai tujuan investasi iklim yang ambisius tersebut.
Dengan demikian, perbankan di Indonesia mempunyai kesempatan emas untuk menjadi motor penggerak dalam membentuk masa depan yang lebih hijau dan sejahtera. Menyadari peran tersebut dan bertindak proaktif adalah hal yang sangat penting dalam memastikan keberlanjutan ekonomi dan lingkungan di masa depan.