Jakarta - Dalam perkembangan terbaru dunia ekonomi, kembalinya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat membawa angin baru dalam kebijakan ekonomi global. Hal ini memberikan dampak yang signifikan bagi kebijakan moneter di berbagai negara, termasuk Indonesia. Mantan Menteri Keuangan dan Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri mengungkapkan bahwa Bank Indonesia (BI) menghadapi situasi yang kompleks terkait keputusan pemangkasan suku bunga acuan.
Chatib Basri, dalam sesi World Economic Forum (WEF) 2025, menjelaskan bahwa ada dua kebijakan utama dari pemerintahan Trump yang berpotensi mempengaruhi kebijakan moneter Indonesia. Pertama, Trump berencana untuk mendeportasi imigran ilegal dari Amerika Serikat (AS). "Masalahnya, kebanyakan imigran yang tak berdokumen tersebut merupakan para buruh kasar. Ini bisa menyebabkan kenaikan upah dan biaya produksi, yang pada gilirannya mengerek inflasi," jelas Chatib, Jumat, 24 Januari 2025.
Kebijakan kedua yang diprediksi adalah pengurangan tarif pajak oleh pemerintahan Trump. Langkah ini diperkirakan akan meningkatkan defisit anggaran AS secara drastis. Menurut Chatib, imbas dari defisit ini adalah tekanan pada valuta asing yang berujung pada keputusan Federal Reserve (The Fed) dalam menjaga atau bahkan menaikkan suku bunga acuan mereka. "Dalam situasi seperti ini, pilihan bagi Bank Indonesia sangat terbatas. Mereka tidak bisa memangkas suku bunga lebih jauh karena akan memicu depresiasi nilai tukar rupiah," tambahnya.
Sementara itu, Bank Indonesia sendiri baru saja mengambil langkah dengan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,75%, setelah mempertahankan pada level 6% sejak Oktober 2024. Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi persnya menuturkan, "Ini adalah waktu yang tepat untuk menurunkan suku bunga guna mendorong pertumbuhan ekonomi, mengingat stabilitas rupiah dan kelemahan konsumsi domestik."
Menurut Perry Warjiyo, keputusan menurunkan suku bunga didasarkan pada analisis bahwa kondisi ekonomi global yang semakin jelas arahnya. Meskipun demikian, tantangan tetap ada dengan kembalinya Trump ke tampuk pemerintahan. Oleh karena itu, kebijakan moneter yang diambil harus tetap berhati-hati dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional.
Selain melihat tantangan dari kebijakan moneter, Chatib Basri menyoroti pentingnya reformasi struktural dalam perekonomian Indonesia. "Apa yang saya maksud dengan reformasi struktural? Melakukan deregulasi perekonomian, memperlancar regulasi," ujarnya. Reformasi ini, menurutnya, adalah langkah esensial agar Indonesia mampu menjaga daya saing dan menarik investasi di tengah keterbatasan kemampuan intervensi fiskal dan moneter.
Selama ini, birokrasi di Indonesia dinilai sangat rumit, sehingga reformasi di sektor ini diperlukan untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha. "Saya mendukung pengaplikasian sistem online submission (OSS) agar perizinan berusaha semakin mudah," ucap Chatib menambahkan pentingnya langkah ini untuk menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dengan dinamika politik dan ekonomi global yang berubah cepat, Indonesia dituntut untuk beradaptasi lebih lanjut. Chatib menekankan pentingnya strategi makroekonomi yang didukung oleh reformasi struktural yang konsisten demi menjaga stabilitas ekonomi.
Di saat lain, Perry Warjiyo juga mengingatkan bahwa meskipun ada tantangan eksternal, ekonomi Indonesia masih menunjukkan tanda-tanda positif. "Rupiah relatif stabil dan survei terbaru menunjukkan ada beberapa indikator yang menunjukkan kelemahan, tetapi itu bisa diatasi dengan kebijakan yang tepat," katanya menambahkan harapan di tengah berbagai tantangan.